Oleh : Trance Taranokanai
Salah satu buku-ku yang sudah terbit
Sebagai
seorang penulis, menjadi kebanggaan tersendiri kala tulisan atau naskah yang
dibuat berhasil nampang di sebuah
media masa, entah itu di surat kabar, majalah, tabloid, atau lainnya. Ketika
ribuan naskah yang dikirim belum ada satupun yang berhasil dimuat, kita seperti
belum layak dikatakan penulis. Dan hanya baru dikatakan sebagai seorang yang
hobi menulis. Bahkan setelah karya-karya tersebut telah sukses dimuatpun seolah
diri masih malu untuk mengatakan, “I’m a
writer”.
Aku
menyukai dunia penulisan sejak duduk di bangku SLTP. Saat itu, yang ku buat
adalah karya-karya fiksi dan puisi. Begitu banyak karya yang dicipta, namun tak
ada yang dimuat di media masa, karena memang tak pernah sekalipun berani Aku
kirimkan. Padahal, setumpuk data alamat media masa telah Aku miliki. Tak ada
setitik keberanian saat itu untuk mulai mengekspose
tulisanku pada khalayak. Aku tak memiliki rasa percaya diri akan tulisanku
sendiri. Malu rasanya jika tulisanku dibaca oranglain. Terlebih jika dikritik
buruk oleh si pembaca. Alamak, mau ditaruh dimana mukaku?
Beranjak
SMA tepatnya di tahun 2001, Aku masih berkutat pada kisah-kisah fiksi. Namun
karena sanjungan dan saran beberapa teman yang menyemangatiku untuk mengirimkan
naskah-naskah itu pada media, akhirnya Akupun mulai memberanikan diri
mengirimkan. Pertama kali ku kirim, Aku langsung membidik sebuah majalah remaja
yang sedang naik daun saat itu. Setelah menanti berbulan-bulan lamanya,
naskah-naskahku dikembalikan.
Dalam
coretan-coretan itu, tertulis catatan bahwa kisah yang kutawarkan ternyata mereka
sukai, namun syarat dan ketentuan pengiriman naskah tidak sesuai dengan prosedur.
Mereka meminta karyaku diperbaiki sesuai persyaratan yang berlaku. Namun saat
itu, untuk memperbaiki dan kembali mengirimkan naskah, berarti Aku membutuhkan
dana pengeluaran baik untuk mencetak naskah yang berlembar-lembar dan juga
biaya perangko. Sementara saat mengirim naskah sebelumnya, Aku keluarkan dana
dari hasil mengumpulkan uang jajan. Dan itu berarti, selama berminggu-minggu
atau bahkan berbulan-bulan Aku harus puasa jajan. Aku tak berani meminta uang
pada orangtua. Bagaimana reaksi mereka kalau tahu Aku meminta uang hanya untuk
mengirim naskah pada sebuah majalah. Ah, Aku tak bisa membayangkan bila mereka
marah.
Semangatku
untuk mengirimkan naskah semakin pupus saat disket berisi file-file naskah itu rusak. Terbayang bagaimana lelahnya harus
mengetik ulang naskah-naskah yang telah kubuat. Sebenarnya, bukan lantaran
banyaknya naskah yang harus diketik, namun berapa banyak dana lagi yang harus
dikeluarkan untuk sekali rental komputer. Karena saat itu, Aku belum memiliki komputer
apalagi notebook seperti saat ini.
Alhasil, Aku mulai mengurungkan niatku menjadi penulis.
Ketika
Aku kuliah, Aku dipercaya pihak kampus untuk turut terlibat dalam pembuatan
majalah kampus. Saat itu Aku masuk dalam deret tim redaksi. Itu pertama kalinya
naskah non fiksi yang ku tulis dicetak, dibaca dan dipublikasikan pada khalayak
tanpa kompetitor seperti yang Aku alami ketika mengirim pada majalah lalu.
Semua liputan dan artikelku dimuat dan diberi upah lelah. Senang rasanya. Saat
itu, mulailah percaya diriku tumbuh. Aku lebih sering berlatih menulis beragam
hal untuk kemudian Aku cetak dan dibundel menjadi satu, serta kujual pada
khalayak. Saat itu Aku memanfaatkan kegiatan kajian rutin setiap pagi di sebuah
masjid kampus negeri ternama di kota Aku mengenyam pendidikan. Banyaknya para akhwat yang hadir menjadi incaran empuk
untukku. Terlebih yang kutahu, mereka senang membaca. Beragam artikel baik yang
ku buat sendiri maupun hasil searching
dari internet, Aku cetak dan Aku kemas sedemikian rupa. Ternyata hasilnya cukup
menggembirakan. Daganganku laris manis.
Namun
ketika Aku mulai disibukkan dengan beragam tugas kuliah, Aku mulai kewalahan
dalam menulis. Aku tak sempat membuat artikel, mencetak, dan menjualnya. Lambat
laun kebiasaan itupun terhenti dengan sendirinya. Hingga Aku selesai kuliah dan
bekerja, Aku seolah lupa dengan dunia tulis menulis. Aku mulai larut dalam
pekerjaanku sebagai disainer grafis. Panjangnya jam kerja, membuatku tak sempat
bahkan untuk sekedar mencari tema tulisanpun tidak.
Artikel teman IIDN yang dimuat di koran. Wajahku ikut nampang disitu lho...
Bertahun-tahun
Aku tinggalkan dunia penulisan. Hingga setelah Aku resign dari pekerjaanku dan memutuskan untuk mengurusi rumahtangga
dan keluarga secara penuh, Aku mulai tertarik kembali terjun ke dunia
penulisan. Bertahun-tahun lamanya tidak menulis membuat otakku tak terasah
dalam penyusunan kata. Semua kalimat yang kubuat hancur, buruk, berantakan,
kadang kaku, kadang tak sesuai EYD, kadang janggal dan banyak keanehan lainnya
dalam naskahku. Seperti seorang anak kecil yang baru belajar menulis. Untuk
membuat sebuah artikel 750 kata saja bisa berminggu-minggu kukerjakan. Alhasil,
naskahku tak pernah ada satupun yang selesai sempurna. Satu belum selesai
dikerjakan, saat terbentur kalimat Aku langsung beralih ke tema yang lain. Saat
tema tersebut belum juga kelar, ketika menghadapi kendala ditengah-tengah
penyusunan kata, Aku kembali membuat tema berbeda. Selalu seperti itu. Dalam
benakku seperti tertanam bahwa menulis itu adalah sesuatu yang sulit sekali
dilakukan. Aku selalu menganggap bahwa kosakata yang ku kuasai teramat minim
hingga Aku selalu terbentur dengan pengolahan kata.
Aku dan teman-teman KEB yang muncul di majalah Noor edisi Januari 2013
Suatu
ketika, Aku bergabung pada sebuah grup menulis. Disana Aku mendapat banyak
input seputar penulisan. Disana pula Aku mulai menyemangati diri bergabung
dengan para Ibu yang penuh semangat dan kreatif untuk terus menulis dan
menulis. Sebagai pembelajaran, Aku mulai menulis non fiksi dari hal-hal yang
ringan dengan jumlah kata yang sedikit. Kemudian mulai Aku kirim ke beberapa
tabloid. Berbulan-berbulan lamanya akhirnya tulisanku membuahkan hasil. Untuk
pertama kalinya, tulisan ringanku seputar kisah sang buah hati dimuat di
tabloid Ibu dan anak. Aku semakin bersemangat untuk terus menulis. Aku pun
mulai mencari jati diri dan passion
tulisanku. Tak henti-hentinya Aku menulis. Setiap ada sedikit saja waktu luang,
langsung ku gunakan untuk menulis. Disitulah mindset-ku sedikit demi sedikit berubah. Aku mulai meyakini dalam
diri bahwa menulis adalah sesuatu yang mudah dan menyenangkan. Sesuatu yang
harus disuguhkan dengan hati. Sesuatu yang tak perlu ditakuti karena kita
belajar dari kesalahan. Tak ada kupu-kupu cantik yang tak berawal dari
kepompong, tak ada lukisan indah yang tak bermula dari sebuah titik. Semua
membutuhkan proses, dan masa proses itulah yang membuat kita semakin ahli.
Aku bersama teman-teman IIDN di Nova Ladies Fair
Selang
beberapa bulan, tulisanku kembali dimuat. Tak hanya satu, namun tiga buah
tulisan. Sebuah cerita mini tentang si kecil dan mendapat bingkisan dari
tabloid tersebut, satu artikel pengalaman bisnis yang dimuat di sebuah majalah
wanita dengan kompensasi berupa honor dan majalah terbit, serta sebuah naskah
yang masuk dalam buku antologi. Ah, rasanya senang tak terkira. Kalau boleh
teriak, tentu Aku akan teriak sekencang-kencangnya sambil lompat kegirangan
hingga oranglain tahu bahwa naskahku dimuat. Aku merasa, perjuanganku tak
sia-sia. Setelah lama bergelut dalam pembelajaran kata, akhirnya usaha dan
doaku didengar oleh Tuhan. Setidaknya, Aku kini bisa tersenyum bangga. Bangga
terhadap diriku sendiri, bahwa Aku ternyata bisa mewujudkan sesuatu yang
awalnya dirasa tak mungkin untuk terwujud. Dengan semangat, doa, usaha, dan berada
dalam lingkungan yang mendukung, kini tak ada yang tak mungkin untuk
diwujudkan.
Kini,
Aku bisa mengatakan bahwa Aku seorang penulis. Ya, walau tulisanku yang dimuat media dan dibukukan masih terbilang sedikit. Namun, inilah masa depanku yang akan
terus Aku jalani hingga diri ini tak mampu lagi berkarya. Sepanjang Tuhan masih
memberiku nafas, sepanjang itu pula semangat dan karyaku terus berkobar. Aku
siap sepenuh hati menghiasi dunia penulisan dengan karya-karyaku. Aku akan
terus belajar dan belajar untuk bisa menjadi seorang penulis yang inovatif,
kreatif dan menjadi sumber inspirasi untuk khalayak ramai. Aku ingin suatu
ketika disaat Aku sudah tak bernyawa, namaku masih dikenal karena karya-karya
yang telah Aku curahkan pada dunia literasi yang kucintai. *
Profilku
Kemaren waktu ketemu di acara Nova, sekilas nama aslimu disebut. Aku tak menangkap jelas. Sekarang dah tahu deh Mak.
ReplyDeletesalam kenal makk :)
ReplyDeleteHehehe... jadi ketauan deh nama aslinya.. Hihi.. jadi malu saya. Banyak yang pada aneh sama nama saya lho, mak Tri Sapta. Entah deh, kenapa ya? Hihihi...
ReplyDeleteSalam kenal kembali mak Ummi Maya...
ReplyDeleteWah, hebatnya. Sekali lagi aku ucapkan selamat ya,mbak,akhirnya impian itu bisa tergapai.Sungguh menginspirasi bgt :)
ReplyDeleteMakasih mak Christ.
Delete