Monday 21 January 2013

I'M PROUD TOBE A WRITER


Oleh : Trance Taranokanai

Salah  satu buku-ku yang sudah terbit

Sebagai seorang penulis, menjadi kebanggaan tersendiri kala tulisan atau naskah yang dibuat berhasil nampang di sebuah media masa, entah itu di surat kabar, majalah, tabloid, atau lainnya. Ketika ribuan naskah yang dikirim belum ada satupun yang berhasil dimuat, kita seperti belum layak dikatakan penulis. Dan hanya baru dikatakan sebagai seorang yang hobi menulis. Bahkan setelah karya-karya tersebut telah sukses dimuatpun seolah diri masih malu untuk mengatakan, “I’m a writer”. 

Aku menyukai dunia penulisan sejak duduk di bangku SLTP. Saat itu, yang ku buat adalah karya-karya fiksi dan puisi. Begitu banyak karya yang dicipta, namun tak ada yang dimuat di media masa, karena memang tak pernah sekalipun berani Aku kirimkan. Padahal, setumpuk data alamat media masa telah Aku miliki. Tak ada setitik keberanian saat itu untuk mulai mengekspose tulisanku pada khalayak. Aku tak memiliki rasa percaya diri akan tulisanku sendiri. Malu rasanya jika tulisanku dibaca oranglain. Terlebih jika dikritik buruk oleh si pembaca. Alamak, mau ditaruh dimana mukaku?

Beranjak SMA tepatnya di tahun 2001, Aku masih berkutat pada kisah-kisah fiksi. Namun karena sanjungan dan saran beberapa teman yang menyemangatiku untuk mengirimkan naskah-naskah itu pada media, akhirnya Akupun mulai memberanikan diri mengirimkan. Pertama kali ku kirim, Aku langsung membidik sebuah majalah remaja yang sedang naik daun saat itu. Setelah menanti berbulan-bulan lamanya, naskah-naskahku dikembalikan.

Dalam coretan-coretan itu, tertulis catatan bahwa kisah yang kutawarkan ternyata mereka sukai, namun syarat dan ketentuan pengiriman naskah tidak sesuai dengan prosedur. Mereka meminta karyaku diperbaiki sesuai persyaratan yang berlaku. Namun saat itu, untuk memperbaiki dan kembali mengirimkan naskah, berarti Aku membutuhkan dana pengeluaran baik untuk mencetak naskah yang berlembar-lembar dan juga biaya perangko. Sementara saat mengirim naskah sebelumnya, Aku keluarkan dana dari hasil mengumpulkan uang jajan. Dan itu berarti, selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan Aku harus puasa jajan. Aku tak berani meminta uang pada orangtua. Bagaimana reaksi mereka kalau tahu Aku meminta uang hanya untuk mengirim naskah pada sebuah majalah. Ah, Aku tak bisa membayangkan bila mereka marah.

Semangatku untuk mengirimkan naskah semakin pupus saat disket berisi file-file naskah itu rusak. Terbayang bagaimana lelahnya harus mengetik ulang naskah-naskah yang telah kubuat. Sebenarnya, bukan lantaran banyaknya naskah yang harus diketik, namun berapa banyak dana lagi yang harus dikeluarkan untuk sekali rental komputer. Karena saat itu, Aku belum memiliki komputer apalagi notebook seperti saat ini. Alhasil, Aku mulai mengurungkan niatku menjadi penulis.

Ketika Aku kuliah, Aku dipercaya pihak kampus untuk turut terlibat dalam pembuatan majalah kampus. Saat itu Aku masuk dalam deret tim redaksi. Itu pertama kalinya naskah non fiksi yang ku tulis dicetak, dibaca dan dipublikasikan pada khalayak tanpa kompetitor seperti yang Aku alami ketika mengirim pada majalah lalu. Semua liputan dan artikelku dimuat dan diberi upah lelah. Senang rasanya. Saat itu, mulailah percaya diriku tumbuh. Aku lebih sering berlatih menulis beragam hal untuk kemudian Aku cetak dan dibundel menjadi satu, serta kujual pada khalayak. Saat itu Aku memanfaatkan kegiatan kajian rutin setiap pagi di sebuah masjid kampus negeri ternama di kota Aku mengenyam pendidikan. Banyaknya para akhwat yang hadir menjadi incaran empuk untukku. Terlebih yang kutahu, mereka senang membaca. Beragam artikel baik yang ku buat sendiri maupun hasil searching dari internet, Aku cetak dan Aku kemas sedemikian rupa. Ternyata hasilnya cukup menggembirakan. Daganganku laris manis.

Namun ketika Aku mulai disibukkan dengan beragam tugas kuliah, Aku mulai kewalahan dalam menulis. Aku tak sempat membuat artikel, mencetak, dan menjualnya. Lambat laun kebiasaan itupun terhenti dengan sendirinya. Hingga Aku selesai kuliah dan bekerja, Aku seolah lupa dengan dunia tulis menulis. Aku mulai larut dalam pekerjaanku sebagai disainer grafis. Panjangnya jam kerja, membuatku tak sempat bahkan untuk sekedar mencari tema tulisanpun tidak.

Artikel teman IIDN yang dimuat di koran. Wajahku ikut nampang disitu lho...

Bertahun-tahun Aku tinggalkan dunia penulisan. Hingga setelah Aku resign dari pekerjaanku dan memutuskan untuk mengurusi rumahtangga dan keluarga secara penuh, Aku mulai tertarik kembali terjun ke dunia penulisan. Bertahun-tahun lamanya tidak menulis membuat otakku tak terasah dalam penyusunan kata. Semua kalimat yang kubuat hancur, buruk, berantakan, kadang kaku, kadang tak sesuai EYD, kadang janggal dan banyak keanehan lainnya dalam naskahku. Seperti seorang anak kecil yang baru belajar menulis. Untuk membuat sebuah artikel 750 kata saja bisa berminggu-minggu kukerjakan. Alhasil, naskahku tak pernah ada satupun yang selesai sempurna. Satu belum selesai dikerjakan, saat terbentur kalimat Aku langsung beralih ke tema yang lain. Saat tema tersebut belum juga kelar, ketika menghadapi kendala ditengah-tengah penyusunan kata, Aku kembali membuat tema berbeda. Selalu seperti itu. Dalam benakku seperti tertanam bahwa menulis itu adalah sesuatu yang sulit sekali dilakukan. Aku selalu menganggap bahwa kosakata yang ku kuasai teramat minim hingga Aku selalu terbentur dengan pengolahan kata.

Aku dan teman-teman KEB yang muncul di majalah Noor edisi Januari 2013

Suatu ketika, Aku bergabung pada sebuah grup menulis. Disana Aku mendapat banyak input seputar penulisan. Disana pula Aku mulai menyemangati diri bergabung dengan para Ibu yang penuh semangat dan kreatif untuk terus menulis dan menulis. Sebagai pembelajaran, Aku mulai menulis non fiksi dari hal-hal yang ringan dengan jumlah kata yang sedikit. Kemudian mulai Aku kirim ke beberapa tabloid. Berbulan-berbulan lamanya akhirnya tulisanku membuahkan hasil. Untuk pertama kalinya, tulisan ringanku seputar kisah sang buah hati dimuat di tabloid Ibu dan anak. Aku semakin bersemangat untuk terus menulis. Aku pun mulai mencari jati diri dan passion tulisanku. Tak henti-hentinya Aku menulis. Setiap ada sedikit saja waktu luang, langsung ku gunakan untuk menulis. Disitulah mindset-ku sedikit demi sedikit berubah. Aku mulai meyakini dalam diri bahwa menulis adalah sesuatu yang mudah dan menyenangkan. Sesuatu yang harus disuguhkan dengan hati. Sesuatu yang tak perlu ditakuti karena kita belajar dari kesalahan. Tak ada kupu-kupu cantik yang tak berawal dari kepompong, tak ada lukisan indah yang tak bermula dari sebuah titik. Semua membutuhkan proses, dan masa proses itulah yang membuat kita semakin ahli.  

Aku bersama teman-teman IIDN di Nova Ladies Fair

Selang beberapa bulan, tulisanku kembali dimuat. Tak hanya satu, namun tiga buah tulisan. Sebuah cerita mini tentang si kecil dan mendapat bingkisan dari tabloid tersebut, satu artikel pengalaman bisnis yang dimuat di sebuah majalah wanita dengan kompensasi berupa honor dan majalah terbit, serta sebuah naskah yang masuk dalam buku antologi. Ah, rasanya senang tak terkira. Kalau boleh teriak, tentu Aku akan teriak sekencang-kencangnya sambil lompat kegirangan hingga oranglain tahu bahwa naskahku dimuat. Aku merasa, perjuanganku tak sia-sia. Setelah lama bergelut dalam pembelajaran kata, akhirnya usaha dan doaku didengar oleh Tuhan. Setidaknya, Aku kini bisa tersenyum bangga. Bangga terhadap diriku sendiri, bahwa Aku ternyata bisa mewujudkan sesuatu yang awalnya dirasa tak mungkin untuk terwujud. Dengan semangat, doa, usaha, dan berada dalam lingkungan yang mendukung, kini tak ada yang tak mungkin untuk diwujudkan.

Kini, Aku bisa mengatakan bahwa Aku seorang penulis. Ya, walau tulisanku yang dimuat media dan dibukukan masih terbilang sedikit. Namun, inilah masa depanku yang akan terus Aku jalani hingga diri ini tak mampu lagi berkarya. Sepanjang Tuhan masih memberiku nafas, sepanjang itu pula semangat dan karyaku terus berkobar. Aku siap sepenuh hati menghiasi dunia penulisan dengan karya-karyaku. Aku akan terus belajar dan belajar untuk bisa menjadi seorang penulis yang inovatif, kreatif dan menjadi sumber inspirasi untuk khalayak ramai. Aku ingin suatu ketika disaat Aku sudah tak bernyawa, namaku masih dikenal karena karya-karya yang telah Aku curahkan pada dunia literasi yang kucintai. *

 Profilku

Trance Taranokanai memiliki nama asli Palentina Tara Dipa. Seorang Mompreneur di bidang jasa disain grafis dan pernak-pernik flannel. Menyukai dunia penulisan sejak SLTP namun baru aktif menulis setelah bergabung di IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis). Menjadi seorang penulis handal yang mencerdaskan dan inspiratif adalah cita-citanya. Untuk mengenal lebih dekat dengan penulis silakan add di akun facebooknya, Trance Taranokanai, atau twitter @Taranokanai_ID. Atau via email di trance.d.sign@gmail.com.                        

6 comments:

  1. Kemaren waktu ketemu di acara Nova, sekilas nama aslimu disebut. Aku tak menangkap jelas. Sekarang dah tahu deh Mak.

    ReplyDelete
  2. Hehehe... jadi ketauan deh nama aslinya.. Hihi.. jadi malu saya. Banyak yang pada aneh sama nama saya lho, mak Tri Sapta. Entah deh, kenapa ya? Hihihi...

    ReplyDelete
  3. Salam kenal kembali mak Ummi Maya...

    ReplyDelete
  4. Wah, hebatnya. Sekali lagi aku ucapkan selamat ya,mbak,akhirnya impian itu bisa tergapai.Sungguh menginspirasi bgt :)

    ReplyDelete

BESTIE

Dari sekian banyak teman yang saya miliki, mungkin hanya satu sosok manusia ini nih yang paling nge-klik. Sebab, cuma dia yang berani bicara...