Monday 15 June 2015

PENTINGNYA ANAK MENGETAHUI PEKERJAAN ORANGTUA

 
Dokumentasi milik pribadi
Hai, bunda. Menurut bunda perlukah seorang anak mengetahui aktifitas dan pekerjaan orangtuanya? Secara pribadi, menurut kacamata saya, orangtua patut memberitahukan segala aktifitas dan pekerjaannya kepada anak-anaknya. Hal ini bertujuan agar anak tahu betul bagaimana perjuangan orangtua dalam memenuhi dan mencukupi kebutuhan anak-anak dan keluarganya.
 
Saya ingin bercerita sebentar. Ada sebuah kisah pasangan suami istri yang memiliki 5 orang anak. Sang ibu bekerja sebagai buruh cuci sementara ayahnya bekerja sebagai kurir. Untuk memilih pekerjaan yang lebih baik mereka tak mampu. Mengapa? Karena kebanyakan perusahaan saat ini dibatasi dengan kriteria pendidikan minimal SMA. Sementara, suami istri tersebut hanya berlulusan SD. Dan mirisnya itu pun tak sempat hingga tamat. Beruntung, masih diberi kemudahan pada ayahnya bisa diterima sebagai kurir di sebuah perusahaan.
 
Singkat cerita, saat hendak memasuki kurikulum tahun ajaran baru, sang ayah dipecat dari perusahaan. Motor yang belumlah lunas akhirnya disita karena menunggak hingga lebih dari 3 bulan. Ke lima anaknya sudah bersekolah. Sulung sudah duduk dibangku SMA sementara yang paling bungsu duduk dibangku SD. Akhirnya roda perekonomian hanya bertumpu pada sang ibu. Di zaman yang serba mahal dan hidup di tengah ibukota Jakarta, rasanya untuk menghidupi lima orang anak dan juga biaya pendidikan dengan mengandalkan gaji 900ribu sebulan tentu rasanya tak cukup. Beruntung sang ibu juga mengasuh seorang anak balita dengan gaji 500ribu sebulan. Tetapi, patut dibayangkan, dengan biaya kontrakan 800ribu perbulan berarti sisa keuangan hanya 600ribu untuk mencukupi semua kebutuhan 7orang di dalam keluarga itu. Baik kebutuhan sandang, pangan, pendidikan dan lainnya. Sementara ayahnya yang sudah dipecat akhirnya memutuskan untuk berjualan makanan ringan jajanan anak seperti sosis bakar. Dengan penghasilan yang tidak menentu namun setidaknya masih bisa menyambung hidup untuk keluarga.

Dengan kondisi hidup yang seperti itu, sayangnya ke lima anaknya tak ada yang bisa diharapkan membantu kedua orangtuanya. Paling tidak, anak sulungnya sebenarnya masih bisa dilimpahkan tanggungjawab menjaga adik-adiknya, membantu menemani belajar, serta membersihkan rumah. Sayang, hal itu tak ada dalam kamus anak-anaknya. Pekerjaan rumah masih dilakukan oleh ibunya yang sudah lelah mencuci di kediaman orang dan mengasuh anak tetangga. Saat tiba di rumah masih disibukkan dengan bebenah rumah. Tak hanya sampai disitu. Setiap pulang sekolah, si sulung yang menginjak SMA dan sudah remaja serta anak ke dua yang duduk dibangku SMP selepas sekolah selalu hang out dengan teman-temannya hingga menjelang maghrib.

Untuk uang saku si sulung setiap harinya 25ribu. Sedangkan untuk uang saku anak kedua setidaknya 15ribu. Sementara anak ketiga hingga terakhir yang masih dibangku SD masing-masing diberi saku 5000 rupiah. Uang saku itu akan berbeda nominalnya jika ada kegiatan tambahan lain. Misalnya bila ada ekstrakurikuler atau les tambahan, maka masing-masing anak bertambah lagi beberapa ribu rupiah uang sakunya. Secara hitung kasar, tentu untuk uang saku ke lima anaknya saja sudah lebih dari 600ribu sebulan. Padahal sisa keuangan mereka 600ribu setiap bulannya dan harus mencukupi semua kebutuhan yang tak hanya sebatas uang saku sekolah.

Mari kita berandai-andai sejenak. Andai saja anak-anaknya hanya membawa uang saku seperlunya dan membawa bekal sendiri dari rumah, tentu jauh lebih hemat. Kedua, andai saja anak-anaknya diberi pemahaman akan kondisi orangtua yang sebenarnya, setidaknya mereka akan lebih berempati pada kedua orangtuanya. Ketiga, andai saja anak-anaknya tahu betul kondisi orangtuanya, bisa jadi anak-anaknya malah memilih menabung uang saku mereka dan bukan untuk dihambur-hamburkan tidak jelas. Andai saja, mereka tahu, bisa jadi pula mereka akan saling melindungi dan menjaga adik-adiknya dan disiplin akan waktu serta membantu pekerjaan rumah sang ibu yang sudah letih mencari uang di luar. Dan bisa jadi, baik di sulung ataupun anak lainnya akan saling bahu membahu membantu ayahnya berjualan. Dan masih banyak lagi pengandaian-pengandaian lainnya bila seandainya kedua orangtuanya saling terbuka akan ekonomi keluarga mereka pada anak-anaknya.

Rasanya, hal akan sebuah keterbukaan itu penting. Untuk saling mengetahui keadaan satu sama lain. Alasan yang saya tahu dari perbincangan dengan sang ibu adalah bahwa orangtuanya hanya ingin anak-anak mereka fokus pada pendidikan tanpa harus dibebankan dengan kondisi ekonomi mereka yang lemah. Sebuah alasan yang mulia. Namun ternyata berdampak tidak sehat pada perkembangan anak-anak mereka. Apa yang mereka inginkan keuda orangtua langsung menyanggupi walau entah dari mana asal muasal uangnya. Apakah dari meminjam tetangga, berhutang pada rentenir, penggadaikan barang, atau hal lainnya. Dan parahnya, dari perbincangan itu, si ibu menuturkan hal yang sangat membuat saya pilu. Ia menjalin hubungan dengan seorang pria beristri sebagai wanita simpanan dan menjalin hubungan gelap dengan seorang pria lainnya yang bekerja sebagai profesional dengan bayaran. Menurutnya, langkah ini adalah jalan terbaik karena ia bisa mendapatkan uang dengan cepat dan banyak tanpa harus lelah kerja dan tanpa ijasah. Sekali bertemu dan berkencan dengan kedua pria ini, ia memperoleh 300ribu rupiah. Fiuhh, saya miris dan getir.

Sebenarnya banyak hal penyebab kasus ini bisa terjadi. Namun, saya sendiri tidak tahu pasti solusi terbaiknya karena saya bukan pakar ahli di bidang ini. Saya hanya melihat dari kacamata saya pribadi.

Ada lagi kisah lainnya. Seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 orang anak yang ditinggal pergi suaminya karena selingkuh dengan wanita lain. Sementara ibu ini tidak bekerja dan terbiasa menerima jahitan dari para tetangga karena keahliannya menjahit pakaian. Dengan posisi hamil 7bulan dan 3 anak lainnya yang saat itu sangat membutuhkan banyak biaya dimana anak pertama duduk di bangku SMA kelas 1, anak kedua SMP kelas 2, dan anak ketiga SD kelas 1, serta calon bayi yang sebentar lagi akan lahir tak terbayang berapa biaya yang dibutuhkan olehnya. Beruntungnya, ia selalu terbiasa berdiskusi dengan anak-anaknya akan kondisi yang mereka alami. Dan tanpa sosok ayah, mereka pun saling bahu membahu memenuhi kebutuhan hidup. Sang anak yang bersekolah SMA bekerja sebagai karyawan bantuan di sebuah bengkel, dan si anak SMP mencari tambahan penghasilan dengan membantu menjual pakaian milik tetangga yang punya butik. Sementara adiknya yang SD tetap dibiarkan main seperti anak lainnya seusianya.

Secara kacamata saya, anak diusia kelas 1 SMA dan anak SMP kelas 2, rasanya memang sudah sangat faham untuk bisa diajak berdiskusi. Karena diusia tersebut sudah besar dan bisa memahami jalan pikiran orangtuanya. Akhir cerita, mereka masih bisa menjalani kehidupan dengan layak. Anak-anak masih bisa mengenyam pendidikan dengan baik dan semakin bertanggungjawab dengan pendidikannya karena memahami benar bahwa untuk membiayai sekolah, mereka harus berkeringat dahulu. Saat ini anak-anak ibu tersebut sudah bisa dikatakan sukses karena si sulung sudah bekerja pada perusahaan cukup besar dengan gaji menggiurkan sebagai mekanik. Sementara si anak kedua, sudah memiliki usaha sendiri dengan berjualan pakaian secara online di usianya yang masih 19 tahun. Sedangkan adik-adiknya masih bersekolah dan tidak dibebankan bekerja karena taraf hidup mereka sudah bisa dikatakan nyaman. Selain itu, usia adik-adiknya masih dianggap kecil bila harus bekerja seperti mereka. Si ibu hanya membiasakan kedua anak yang masih bersekolah ini untuk hidup sederhana, dan rajin menabung.

Banyak hal yang bisa di ambil hikmahnya dari kedua kasus di atas. mungkin, setiap anak tak sama penerimaannya atau pola fikirnya dengan anak lainnya karena pola asuh itu sendiri memang beragam. Banyak teori parenting tentang pola asuh anak, namun tak selamanya hal itu menjadi patokan dan baik untuk anak. Orangtua lah yang paling memahami benar seperti apa yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun, saya akan selalu menyarankan untuk tetap terbuka dan membiasakan berdiskusi dengan anak semenjak dini tentang apa yang kita lakukan agar anak faham seperti apa baiknya dan ia pun bisa menyerap ilmu yang penting dari aktifitas yang kita kerjakan.

   

3 comments:

  1. anak2ku juga aku jelaskan ttg pekerjaan mama dan papanya, soalnya profesinya rada beda. papanya berangkat kerja sore, pulang pagi....hihihihi...wartawan. mamanya nongkrong depan komputer tiap hari. kalau gk dijelasin, ntar mereka nebak2 sendiri, ni emak babe gw ngapain sik? yg satu maen game melulu, yg satu pulang pagi terus. apa kata duniaaah? hahahahahaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi... bener.. bener.. Mak. Kalo anaknya kepo sih pasti tanya-tanya terus ya, Mak. Bahayanya kalau anaknya gak pengen tau karena bukan masalah mereka sebagai anak. Jadi gak faham gimana perjuangan orangtua nya.

      Delete
  2. informasi yang sangat menarik dan padat.. thx

    ReplyDelete

BESTIE

Dari sekian banyak teman yang saya miliki, mungkin hanya satu sosok manusia ini nih yang paling nge-klik. Sebab, cuma dia yang berani bicara...