Monday 11 February 2013

DIANTARA PUING-PUING HATI



Image adalah karya manual milik pribadi


Aku menarik nafas dalam-dalam. Entahlah, terkadang aku tak faham dengan jalan fikiran orang. Banyak manusia ciptaan Tuhan yang bertingkah sangat memuakkan, penjilat, munafik, mencari aman, ah…

Tuhanku Yang Agung… mengapa dunia begitu memuakkan bagiku? Apakah aku yang sebenarnya durjana? Ataukah aku hamba yang merasa suci? Ah, Astaghfirullah… ampuni hamba, Tuhan.

Tuhanku yang Maha Pengampun… Aku merasa sebagai hamba yang sangat egois. Seorang hamba yang sangat sulit untuk memberi kata maaf. Terbayang dalam benakku, peristiwa enam tahun silam ketika mengikuti ujian SPMB di daerah Cipinang, Jakarta Timur. Aku yang berdomisili Tangerang, harus bolak-balik Tangerang- Cipinang selama tiga hari untuk mengikuti ujian tersebut yang bertempat di salah satu SMU yang ditunjuk panitia penyelenggara. Ternyata saat itu, sepupuku yang berasal dari sekolah berbeda denganku ikut pula sebagai peserta SPMB di lokasi yang sama. Rumahku dengannya hanya berjarak satu kilometer. Ia membawa mobil pribadi selama mengikuti tes. Namun sedikitpun Ia tak pernah memberi tumpangan walau sekedar basa-basi. Di lokasi ujian pun kala kami berpapasan atau bahkan berdiri bersebelahan menunggu waktu masuk, Ia tak pernah menegur bahkan untuk melempar secuil senyum dipinggir bibirpun tidak sama sekali. Padahal, aku sering mendahului memberikan senyumku untuknya. Aku tahu, Tuhan… aku tak berharap lebih dari sosoknya. Namun setidaknya, tak bisakah terjalin hubungan baik sebagai saudara?

Masih teringat  bagaimana kalimat yang pernah Ia luncurkan tentangku dihadapan teman-teman saat bertemu di sebuah bilangan Mal di Karawaci Tangerang. Ketika itu aku menyapa beserta keluarganya yang juga sedang berjalan-jalan di Mal tersebut. Namun yang kudapati adalah balasan yang menyakitkan.
“Siapa kamu? Berani-beraninya menegur? Kamu itu salah orang! Heh, denger ya! Orang miskin kayak kamu ngga mungkin bersaudara dengan aku! Aku orang terhormat dan kaya raya! Sedangkan kamu dan keluarga kamu hanyalah orang miskin! Bapakmu itu tidak lebih dari seorang tukang ojek! Apalagi Ibumu. Cuma buruh cuci orang-orang! Status dan derajat kita saja sudah jelas-jelas berbeda! Ngaca dong! Punya cermin ngga sih di rumah? Ngerti cermin ngga? Ups, lupa, di rumah kamu tentunya ngga ada cermin! ‘Kan ngga mampu beli! Untuk makan aja susah!” Seru Dena, sepupuku.
“ Dena! Dia itu mana punya rumah! Tempat yang mereka tinggali itu bukan rumah! Kandang ayam! Ha…ha…ha…” Ejek Ibu Dena, Tante Marry. Tanteku. Tanteku? Ah, sepertinya bukan! Mereka tidak pernah menganggap aku dan keluargaku sebagai saudara. Adalah sebuah aib yang sangat besar bagi mereka jika orang-orang tahu bahwa kami bersaudara.

“ Ngapain kalian kesini? Mau minta uang, ya? Makanya jangan jadi orang miskin! Hidup kok melarat banget!  Dengar ya, kalau mau minta-minta… di ujung jalan sana! Atau di pertigaan lampu merah, bukan di rumah kami yang megah ini! Dan satu lagi, jangan pernah menginjakkan kaki kalian yang kotor, dekil dan bau itu ke rumah kami! Lantai rumah kami terbuat dari marmer yang harganya sangat mahal! Nanti bisa rusak dan lecet lantai ini kalau kalian injak! Dibayar pakai nyawa kalian pun ngga cukup! Tahu! Sana pergi!” Hardik Tante Marry kala itu. Saat keluarga kami berkunjung ke kediaman mereka untuk bersilaturahmi. Ya, peristiwa yang tidak mungkin akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Kata-kata yang mereka ucapkan begitu menyakitkan.

Tuhan… terkadang aku menganggap Engkau tak adil! Kami yang telah mati-matian banting tulang, tetap saja hidup dalam kemiskinan dan hinaan.
Kami yang selalu menyembahMu, bersungkur sujud di hadapanMu siang malam, menjalankan apa yang Kau perintahkan, tetap saja hidup dalam kemelaratan. Ikhtiar kami bak tak berpengaruh dan tak berarti apa-apa di mataMu. Jutaan airmata, jutaan doa, jutaan pengharapan laksana mainan rongsok yang tak terpakai. Untaian-untaian rayuan padaMu seperti tak digubris olehMu.

Tuhan, kameraMu tentu masih menyimpan peristiwa beberapa waktu silam. Peristiwa yang membuat ayahku menitikkan airmata. Kala itu, di kompleks rumah, salah satu tetangga kami ada yang mengadakan walimah. Rumah kami terpaut dua rumah dari mereka. Tenda biru pun dipasang hingga batas depan rumah tetangga sebelah. Dan kursi serta meja pagar ayu di letakkan di depan rumah kami. Namun tiba-tiba, Ketua RT berseru,
“ Hei! Siapa yang meletakkan meja dan kursi pagar ayu di depan rumah Pak Dwi? Kalian itu pada buta semua, ya? Lihat dong baik-baik. Rumahnya itu butut dan jelek seperti kandang ayam! Mengapa dijadikan background pagar ayu duduk? Nanti di fotonya jadi jelek, bisa-bisa hasil jepretan foto malah terbakar! Ayo pindahkan! Letakkan di depan rumah tetangga yang lebih bagus!” Perintah Ketua RT pada warga. Aku yang saat itu berada di dalam rumah memalingkan wajah kearah ayah yang berdiri disampingku. Tentu saja ucapan dari Ketua RT terdengar hingga ke rumah. Dan kulihat ayah menitikkan airmata.

Tuhan! Bertahun-tahun kami hidup dalam hinaan hambaMu yang lain. Bertahun-tahun kami berusaha untuk keluar dari kesengsaraan ini. Bertahun-tahun kami mengabdi sebagai hamba. Bertahun-tahun kami ikhlas atas takdirMu. Namun, makian, hinaan, tak jua lepas dari hidup kami.
Kami tak butuh pujian dan sanjungan. Tetapi bukan berarti kami selalu sabar dalam hinaan. Kami bukan NabiMu yang selalu ikhlas dalam menghadapi manusia-manusia dzalim.

Tuhan, masih teringat pula dalam memori otakku kalimat demi kalimat yang mereka lontarkan pada keluarga kami. Gunjingan dan ejekan para tetangga tentang langkah yang diambil ayah dalam mendidik putri-putrinya.

“ Seharusnya Pak Dwi si tukang ojek itu sadar diri! Orang miskin kok nekat nyekolahin anak-anaknya pake kuliah segala! Mau bayar pake daun? Ngga punya duit kok sombong! Cari mati namanya! Orang-orang juga pasti ngga bakalan ada yang mau minjamin duit! Takut nanti ngga dibayar.” Celetuk salah seorang tetangga.
Ibu-ibu satunya lagi menambahkan, “ Iya! Gadai pake rumah juga pasti ngga ada yang mau! Rumahnya jelek banget kayak kandang ayam!”
“ Ee..e… enak saja! Kandang ayam saya saja lebih bagus dari rumahnya! Jangan samakan rumahnya dengan kandang ayam dong! Dia itu kandang burung!” Ujar salah seorang lagi, dan terdengarlah riuh tawa dari mulut  Ibu-ibu penggosip yang tak mutu itu.
Tuhan… mendengar itu kami hanya bisa mengelus dada dan akan selalu menanyakan padaMu, hingga kapan celaan demi celaan akan berakhir bagi keluarga kami.

“ Eh, Jeng! Tahu ngga? Si Najma.. anak ke tiga Pak Dwi kuliah di Sekolah Penerbangan! Kok bisa, ya? Masuknya saja bayar empat juta. Mereka mau bayar pake apa? Tiap hari saja makan cuma sama garam!” Ucap seorang ibu muda saat berbelanja di pedagang sayur keliling.
“ Lha, Ibu emangnya ngga tau? ‘Kan si Nadya, kakaknya Najma, jual diri dulu buat ngumpulin uang! Makanya kalo pulang selalu malam! Mangkal dulu! Pelanggannya om-om! Mangkalnya  kalo ngga di Taman kota, ya di Monas! Ih, amit-amit! Pasti udah ngga perawan lagi! Udah di emek-emek sama pelanggannya!” Seru Ibu yang agak tua.
“ Eh, Jeng! Makanya kalo miskin jangan mimpi yang muluk-muluk! Pake acara mau kuliah tinggi!” Seloroh ibu yang lainnya. Saat itu, ibuku tanpa sengaja melewati jalanan yang sedang dikerumuni para tetangga tersebut, hingga pembicaraan mereka terdengar ke telinga ibuku. Ibu hanya mengelus dada menahan duka.
Sesampainya di rumah, ibu duduk di sebuah kursi kayu lapuk di ruang tengah. Wanita paruh baya itu terdiam lama. Aku menatap heran dan ku hampiri beliau.
“Kenapa, bu? Sakit?” Ujarku sambil mengusap punggung ibu.
Ibu menggeleng pelan.
“Lalu kenapa? Ceritalah, bu!”
“ Ibu sedih, Ma. Para tetangga membicarakan kita macam-macam. Kakakmu dibilang jual diri di Monas. Padahal ‘kan kakakmu kuliah sambil kerja, Ma. Kenapa nasib kita begini ya, Ma?” Dan kulihat bulir-bulir airmata ibu mulai menetes.
Aku menarik nafas sesaat.
“ Bu, biar saja mereka membicarakan kita. Mereka tidak pernah tahu apa yang kita jalani dan rasakan. Mereka tidak pernah memperdulikan keberadaan kita. Mereka terbiasa memandang orang dari kacamata harta dan dunia. Biarkan saja, bu. Suatu saat, kita pasti bisa lebih sukses dari mereka. Suatu saat, kita pasti bisa di atas. Bumi terus berputar,  ibu jangan khawatir. Biarkan saja saat ini kita selalu dihina. Allah Maha Kaya, bu. Jatah kita tidak mungkin diambil orang lain. Ibu sabar saja ya, bu?!” Tuturku berusaha menenangkan ibu. Padahal, kalimat itu lebih tertuju pada diriku sebab aku sendiri tak tahu kapan saat itu tiba.

Andai dapat mengeluh, tentu aku sudah meratap sejak dulu. Lelah rasanya diri ini mendengar kalimat demi kalimat menyakitkan yang datang bertubi-tubi. Mengapa manusia senang sekali menghina manusia yang lain? Mengapa manusia selalu menganggap dirinya lebih suci dari yang lainnya? Mengapa manusia selalu saja menemukan aib sekecil apapun pada diri orang lain namun melenyapkan aib sendiri yang sebesar gunung? Mengapa kemiskinan selalu dianggap suatu keburukan dan selalu terpojokkan? Mengapa manusia selalu menganggap dirinya lebih pintar dan lebih mengetahui daripada Takdir Tuhan? Mengapa manusia selalu melihat hanya pada satu sisi kehidupan? Mengapa manusia lebih menggunakan kacamata sisi nafsu dan membunuh hati nuraninya sendiri? Mengapa manusia hanya menilai manusia lainnya sebatas harta, pangkat dan kedudukan? Mengapa bukan ketaatan, kepatuhan pada Tuhan, kejujuran dan moral yang baik yang menjadi cermin? Ah, begitulah manusia. Insan yang dicipta dengan percampuran sisi baik dan buruk, dengan kelebihan dan kekurangannya.

Tahun demi tahun bergulir. Perubahan telah terjadi pada keluarga kami. Tuhan… aku tak tahu apa arti semua ini. Apakah ini  hasil yang harus kami petik atas buah kesabaran kami? Ataukah… ini bagian dari ujianMu pada kami sebagai hamba yang selalu bersimpuh dihadapMu?
Kini, kehidupan kami berputar seratus delapan puluh derajat.
Aku, Najma… masih Najma yang dulu. Walau banyak yang berkata kini aku sudah sukses karena pekerjaanku sebagai Teknisi Pesawat Udara di sebuah Bandara Internasional di Cengkareng. Kakakku Nadya, bekerja sebagai Desainer Grafis di sebuah perusahaan penerbitan dan percetakan ternama di daerah  Palmerah dengan gaji yang menggiurkan. Sementara ibu, kini tak lagi menjadi buruh cuci orang-orang. Beliau mengurus usaha Cattering yang baru dirintis dua bulan ini. Sedangkan ayah, membuka usaha bengkel bersama temannya. Rumah yang dicerca tetangga karena seperti kandang burung, berubah menjadi megah. Aku tak pernah bermimpi akan seperti ini. Aku dan kak Nadya sudah sangat bahagia bisa membahagiakan kedua orangtua karena pekerjaan yang kami peroleh. Kami tak pernah berkhayal sebelumnya atas semua kemewahan yang telah didapat. Saat itu, kami sangat takut…walau hanya untuk sekedar bermimpi.

Hidup kami kini benar-benar berubah. Tak ada lagi ejekan, hinaan, makian, cemoohan, pandangan sinis. Seakan semua itu telah terhempas bersama lenyapnya rumah burung kami.
Kini, beramai-ramai manusia mendekati kami. Menyanjung, mengelu-elukan, dan beramai-ramai berseru “Aku saudaramu! Kamu saudaraku! Kita ini bersaudara sejak dulu!”  

“Eh, Bu Dwi! Mau kemana, Bu? Ayo mampir dulu kerumah! Kebetulan di rumah lagi bikin bolu karamel tuh!”

“Pagi, Najma! Mau berangkat kerja, ya? Denger-denger sebentar lagi mau beli mobil, ya? Nanti kalo sudah punya, kita boleh nebeng jalan-jalan, ya?”

“Pak Dwi, maaf lho kalo dulu kita kurang akrab. Kita terlalu sibuk soalnya. Mulai sekarang kita akrabin aja. Bertetangga itu ‘kan harus saling mengenal. Iya ‘kan, Pak? Ngomong-ngomong… Neng Nadya sudah punya calon belum, Pak? Itu anak saya si Firman naksir berat lho sama Neng Nadya. Sudah sejak dulu. Kenapa kita ngga besanan saja, Pak? Toh kita dan anak-anak juga sudah saling kenal, kan?”

Ah, masih banyak lagi kalimat-kalimat penjilat dan memuakkan bagiku. Mereka berbondong-bondong mendekati kami. Memuja kami laksana dewa. Setiap hari, ada saja yang mereka kirim pada kami. Berbondong-bondong mereka berusaha menarik simpatik kami.
Senyumku getir, Tuhan. Mengapa Kau cipta manusia-manusia seperti itu? Mengapa begitu langka manusia yang mau berkawan dengan si miskin? Mengapa banyak manusia yang berteman hanya karena harta, jaya, kedudukan, atau karena kepintaran. Begitu jarang orang yang mau berkawan dengan insan nista, insan bodoh, insan onar, insan papa, berkawan dengan tulus tanpa melihat status? Begitu sulitkah memiliki sahabat?

Sahabat adalah sesuatu yang nyata. Ia bukan impian. Ia bukan buatan dan khayalan dalam mimpi. Ia hadir sebagai penyemangat jiwa. Tuhan, Engkaulah sahabatku. Yang kekal sepanjang masa. Engkau yang selalu hadir saat banyak manusia menertawakan. Engkau yang selalu ada, saat manusia menghinakan. Engkau jua yang selalu seka airmata kami dalam barisan ayat-ayat suci dan janjiMu. Tak guna semua ini jika Engkau berpaling membenci kami. Jangan pernah tinggalkan kami sendiri. Karena hanya Engkau yang mampu membahagiakan dan membuat damai jiwa.  **

       

8 comments:

  1. cerita yang menarik. salam kenal

    ReplyDelete
  2. Makasih mbak Lisa Tjut Ali. Salam kenal juga...

    ReplyDelete
  3. bagus mb,
    memang banyak orang2 seperti itu. semoga kita terhindar dari orang-orang seperti itu ya

    ReplyDelete
  4. Makasih mbak Lita Alifah. Amin ...

    ReplyDelete
  5. Menyentuh ceritanya, Mbak. Sukaaa gaya bahasanya, ringan dan menarik. Sukses buat karier menulisnya :)

    ReplyDelete
  6. Wow kerennn mba!!!
    maaf ikutan ngomen ya!

    ReplyDelete
  7. Mbak Trance, bagus cerpennya ... dunia ini memang semu. jadi banyak orang2 yang semu, semoga kita dijauhkan dr orang2 yg demikian.. aamiin

    ReplyDelete

BESTIE

Dari sekian banyak teman yang saya miliki, mungkin hanya satu sosok manusia ini nih yang paling nge-klik. Sebab, cuma dia yang berani bicara...