Image adalah karya manual milik pribadi
Aku menarik
nafas dalam-dalam. Entahlah, terkadang aku tak faham dengan jalan fikiran orang.
Banyak manusia ciptaan Tuhan yang bertingkah sangat memuakkan, penjilat,
munafik, mencari aman, ah…
Tuhanku Yang Agung…
mengapa dunia begitu memuakkan bagiku? Apakah aku yang sebenarnya durjana?
Ataukah aku hamba yang merasa suci? Ah, Astaghfirullah… ampuni hamba, Tuhan.
Tuhanku yang
Maha Pengampun… Aku merasa sebagai hamba yang sangat egois. Seorang hamba yang
sangat sulit untuk memberi kata maaf. Terbayang dalam benakku, peristiwa enam
tahun silam ketika mengikuti ujian SPMB di daerah Cipinang, Jakarta Timur. Aku
yang berdomisili Tangerang, harus bolak-balik Tangerang- Cipinang selama tiga
hari untuk mengikuti ujian tersebut yang bertempat di salah satu SMU yang
ditunjuk panitia penyelenggara. Ternyata saat itu, sepupuku yang berasal dari
sekolah berbeda denganku ikut pula sebagai peserta SPMB di lokasi yang sama. Rumahku
dengannya hanya berjarak satu kilometer. Ia membawa mobil pribadi selama
mengikuti tes. Namun sedikitpun Ia tak pernah memberi tumpangan walau sekedar
basa-basi. Di lokasi ujian pun kala kami berpapasan atau bahkan berdiri
bersebelahan menunggu waktu masuk, Ia tak pernah menegur bahkan untuk melempar secuil
senyum dipinggir bibirpun tidak sama sekali. Padahal, aku sering mendahului
memberikan senyumku untuknya. Aku tahu, Tuhan… aku tak berharap lebih dari
sosoknya. Namun setidaknya, tak bisakah terjalin hubungan baik sebagai saudara?
Masih teringat bagaimana kalimat yang pernah Ia luncurkan
tentangku dihadapan teman-teman saat bertemu di sebuah bilangan Mal di Karawaci
Tangerang. Ketika itu aku menyapa beserta keluarganya yang juga sedang
berjalan-jalan di Mal tersebut. Namun yang kudapati adalah balasan yang
menyakitkan.
“Siapa kamu?
Berani-beraninya menegur? Kamu itu salah orang! Heh, denger ya! Orang miskin
kayak kamu ngga mungkin bersaudara dengan aku! Aku orang terhormat dan kaya
raya! Sedangkan kamu dan keluarga kamu hanyalah orang miskin! Bapakmu itu tidak
lebih dari seorang tukang ojek! Apalagi Ibumu. Cuma buruh cuci orang-orang! Status
dan derajat kita saja sudah jelas-jelas berbeda! Ngaca dong! Punya cermin ngga sih
di rumah? Ngerti cermin ngga? Ups, lupa, di rumah kamu tentunya ngga ada
cermin! ‘Kan ngga mampu beli! Untuk makan aja susah!” Seru Dena, sepupuku.
“ Dena! Dia itu
mana punya rumah! Tempat yang mereka tinggali itu bukan rumah! Kandang ayam! Ha…ha…ha…”
Ejek Ibu Dena, Tante Marry. Tanteku. Tanteku? Ah, sepertinya bukan! Mereka
tidak pernah menganggap aku dan keluargaku sebagai saudara. Adalah sebuah aib
yang sangat besar bagi mereka jika orang-orang tahu bahwa kami bersaudara.
“ Ngapain kalian
kesini? Mau minta uang, ya? Makanya jangan jadi orang miskin! Hidup kok melarat
banget! Dengar ya, kalau mau minta-minta… di ujung jalan sana! Atau
di pertigaan lampu merah, bukan di rumah kami yang megah ini! Dan satu lagi,
jangan pernah menginjakkan kaki kalian yang kotor, dekil dan bau itu ke rumah
kami! Lantai rumah kami terbuat dari marmer yang harganya sangat mahal! Nanti
bisa rusak dan lecet lantai ini kalau kalian injak! Dibayar pakai nyawa kalian
pun ngga cukup! Tahu! Sana pergi!” Hardik Tante Marry kala itu. Saat keluarga
kami berkunjung ke kediaman mereka untuk bersilaturahmi. Ya, peristiwa yang
tidak mungkin akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Kata-kata yang mereka
ucapkan begitu menyakitkan.
Tuhan… terkadang
aku menganggap Engkau tak adil! Kami yang telah mati-matian banting tulang,
tetap saja hidup dalam kemiskinan dan hinaan.
Kami yang selalu
menyembahMu, bersungkur sujud di hadapanMu siang malam, menjalankan apa yang
Kau perintahkan, tetap saja hidup dalam kemelaratan. Ikhtiar kami bak tak
berpengaruh dan tak berarti apa-apa di mataMu. Jutaan airmata, jutaan doa,
jutaan pengharapan laksana mainan rongsok yang tak terpakai. Untaian-untaian
rayuan padaMu seperti tak digubris olehMu.
Tuhan, kameraMu
tentu masih menyimpan peristiwa beberapa
waktu silam. Peristiwa yang membuat ayahku menitikkan airmata. Kala itu, di
kompleks rumah, salah satu tetangga kami ada yang mengadakan walimah. Rumah
kami terpaut dua rumah dari mereka. Tenda biru pun dipasang hingga batas depan
rumah tetangga sebelah. Dan kursi serta meja pagar ayu di letakkan di depan
rumah kami. Namun tiba-tiba, Ketua RT berseru,
“ Hei! Siapa
yang meletakkan meja dan kursi pagar ayu di depan rumah Pak Dwi? Kalian itu
pada buta semua, ya? Lihat dong baik-baik. Rumahnya itu butut dan jelek seperti
kandang ayam! Mengapa dijadikan background
pagar ayu duduk? Nanti di fotonya jadi jelek, bisa-bisa hasil jepretan foto malah
terbakar! Ayo pindahkan! Letakkan di depan rumah tetangga yang lebih bagus!”
Perintah Ketua RT pada warga. Aku yang saat itu berada di dalam rumah
memalingkan wajah kearah ayah yang berdiri disampingku. Tentu saja ucapan dari
Ketua RT terdengar hingga ke rumah. Dan kulihat ayah menitikkan airmata.
Tuhan!
Bertahun-tahun kami hidup dalam hinaan hambaMu yang lain. Bertahun-tahun kami
berusaha untuk keluar dari kesengsaraan ini. Bertahun-tahun kami mengabdi
sebagai hamba. Bertahun-tahun kami ikhlas atas takdirMu. Namun, makian, hinaan,
tak jua lepas dari hidup kami.
Kami tak butuh
pujian dan sanjungan. Tetapi bukan berarti kami selalu sabar dalam hinaan. Kami
bukan NabiMu yang selalu ikhlas dalam menghadapi manusia-manusia dzalim.
Tuhan, masih
teringat pula dalam memori otakku kalimat demi kalimat yang mereka lontarkan
pada keluarga kami. Gunjingan dan ejekan para tetangga tentang langkah yang
diambil ayah dalam mendidik putri-putrinya.
“ Seharusnya Pak
Dwi si tukang ojek itu sadar diri! Orang miskin kok nekat nyekolahin
anak-anaknya pake kuliah segala! Mau bayar pake daun? Ngga punya duit kok
sombong! Cari mati namanya! Orang-orang juga pasti ngga bakalan ada yang mau
minjamin duit! Takut nanti ngga dibayar.” Celetuk salah seorang tetangga.
Ibu-ibu satunya
lagi menambahkan, “ Iya! Gadai pake rumah juga pasti ngga ada yang mau! Rumahnya
jelek banget kayak kandang ayam!”
“ Ee..e… enak
saja! Kandang ayam saya saja lebih bagus dari rumahnya! Jangan samakan rumahnya
dengan kandang ayam dong! Dia itu kandang burung!” Ujar salah seorang lagi, dan
terdengarlah riuh tawa dari mulut Ibu-ibu penggosip yang tak mutu itu.
Tuhan… mendengar
itu kami hanya bisa mengelus dada dan akan selalu menanyakan padaMu, hingga
kapan celaan demi celaan akan berakhir bagi keluarga kami.
“ Eh, Jeng! Tahu
ngga? Si Najma.. anak ke tiga Pak Dwi kuliah di Sekolah Penerbangan! Kok bisa, ya? Masuknya
saja bayar empat juta. Mereka mau bayar pake apa? Tiap hari saja makan cuma
sama garam!” Ucap seorang ibu muda saat berbelanja di pedagang sayur keliling.
“ Lha, Ibu
emangnya ngga tau? ‘Kan si Nadya, kakaknya Najma, jual diri dulu buat ngumpulin
uang! Makanya kalo pulang selalu malam! Mangkal dulu! Pelanggannya om-om!
Mangkalnya kalo ngga di Taman kota, ya
di Monas! Ih, amit-amit! Pasti udah ngga perawan lagi! Udah di emek-emek sama pelanggannya!” Seru Ibu
yang agak tua.
“ Eh, Jeng!
Makanya kalo miskin jangan mimpi yang muluk-muluk! Pake acara mau kuliah tinggi!”
Seloroh ibu yang lainnya. Saat itu, ibuku tanpa sengaja melewati jalanan yang
sedang dikerumuni para tetangga tersebut, hingga pembicaraan mereka terdengar
ke telinga ibuku. Ibu hanya mengelus dada menahan duka.
Sesampainya di
rumah, ibu duduk di sebuah kursi kayu lapuk di ruang tengah. Wanita paruh baya
itu terdiam lama. Aku menatap heran dan ku hampiri beliau.
“Kenapa, bu?
Sakit?” Ujarku sambil mengusap punggung ibu.
Ibu menggeleng
pelan.
“Lalu kenapa?
Ceritalah, bu!”
“ Ibu sedih, Ma.
Para tetangga membicarakan kita macam-macam. Kakakmu dibilang jual diri di
Monas. Padahal ‘kan kakakmu kuliah sambil kerja, Ma. Kenapa nasib kita begini
ya, Ma?” Dan kulihat bulir-bulir airmata ibu mulai menetes.
Aku menarik
nafas sesaat.
“ Bu, biar saja
mereka membicarakan kita. Mereka tidak pernah tahu apa yang kita jalani dan
rasakan. Mereka tidak pernah memperdulikan keberadaan kita. Mereka terbiasa
memandang orang dari kacamata harta dan dunia. Biarkan saja, bu. Suatu saat, kita
pasti bisa lebih sukses dari mereka. Suatu saat, kita pasti bisa di atas. Bumi
terus berputar, ibu jangan khawatir.
Biarkan saja saat ini kita selalu dihina. Allah Maha Kaya, bu. Jatah kita tidak
mungkin diambil orang lain. Ibu sabar saja ya, bu?!” Tuturku berusaha
menenangkan ibu. Padahal, kalimat itu lebih tertuju pada diriku sebab aku
sendiri tak tahu kapan saat itu tiba.
Andai dapat
mengeluh, tentu aku sudah meratap sejak dulu. Lelah rasanya diri ini mendengar
kalimat demi kalimat menyakitkan yang datang bertubi-tubi. Mengapa manusia
senang sekali menghina manusia yang lain? Mengapa manusia selalu menganggap
dirinya lebih suci dari yang lainnya? Mengapa manusia selalu saja menemukan aib
sekecil apapun pada diri orang lain namun melenyapkan aib sendiri yang sebesar
gunung? Mengapa kemiskinan selalu dianggap suatu keburukan dan selalu terpojokkan?
Mengapa manusia selalu menganggap dirinya lebih pintar dan lebih mengetahui
daripada Takdir Tuhan? Mengapa manusia selalu melihat hanya pada satu sisi
kehidupan? Mengapa manusia lebih menggunakan kacamata sisi nafsu dan membunuh
hati nuraninya sendiri? Mengapa manusia hanya menilai manusia lainnya sebatas
harta, pangkat dan kedudukan? Mengapa bukan ketaatan, kepatuhan pada Tuhan,
kejujuran dan moral yang baik yang menjadi cermin? Ah, begitulah manusia. Insan
yang dicipta dengan percampuran sisi baik dan buruk, dengan kelebihan dan
kekurangannya.
Tahun demi tahun
bergulir. Perubahan telah terjadi pada keluarga kami. Tuhan… aku tak tahu apa
arti semua ini. Apakah ini hasil yang
harus kami petik atas buah kesabaran kami? Ataukah… ini bagian dari ujianMu pada
kami sebagai hamba yang selalu bersimpuh dihadapMu?
Kini, kehidupan
kami berputar seratus delapan puluh derajat.
Aku, Najma…
masih Najma yang dulu. Walau banyak yang berkata kini aku sudah sukses karena
pekerjaanku sebagai Teknisi Pesawat Udara di sebuah Bandara Internasional di Cengkareng.
Kakakku Nadya, bekerja sebagai Desainer Grafis di sebuah perusahaan penerbitan
dan percetakan ternama di daerah Palmerah
dengan gaji yang menggiurkan. Sementara ibu, kini tak lagi menjadi buruh cuci
orang-orang. Beliau mengurus usaha Cattering yang baru dirintis dua bulan ini.
Sedangkan ayah, membuka usaha bengkel bersama temannya. Rumah yang dicerca
tetangga karena seperti kandang burung, berubah menjadi megah. Aku tak pernah
bermimpi akan seperti ini. Aku dan kak Nadya sudah sangat bahagia bisa
membahagiakan kedua orangtua karena pekerjaan yang kami peroleh. Kami tak
pernah berkhayal sebelumnya atas semua kemewahan yang telah didapat. Saat itu,
kami sangat takut…walau hanya untuk sekedar bermimpi.
Hidup kami kini
benar-benar berubah. Tak ada lagi ejekan, hinaan, makian, cemoohan, pandangan
sinis. Seakan semua itu telah terhempas bersama lenyapnya rumah burung kami.
Kini,
beramai-ramai manusia mendekati kami. Menyanjung, mengelu-elukan, dan
beramai-ramai berseru “Aku saudaramu!
Kamu saudaraku! Kita ini bersaudara sejak dulu!”
“Eh, Bu Dwi! Mau kemana, Bu? Ayo mampir dulu
kerumah! Kebetulan di rumah lagi bikin bolu karamel tuh!”
“Pagi, Najma! Mau berangkat kerja, ya?
Denger-denger sebentar lagi mau beli mobil, ya? Nanti kalo sudah punya, kita
boleh nebeng jalan-jalan, ya?”
“Pak Dwi, maaf lho kalo dulu kita kurang
akrab. Kita terlalu sibuk soalnya. Mulai sekarang kita akrabin aja. Bertetangga
itu ‘kan harus saling mengenal. Iya ‘kan, Pak? Ngomong-ngomong… Neng Nadya
sudah punya calon belum, Pak? Itu anak saya si Firman naksir berat lho sama
Neng Nadya. Sudah sejak dulu. Kenapa kita ngga besanan saja, Pak? Toh kita dan
anak-anak juga sudah saling kenal, kan?”
Ah, masih banyak
lagi kalimat-kalimat penjilat dan memuakkan bagiku. Mereka berbondong-bondong
mendekati kami. Memuja kami laksana dewa. Setiap hari, ada saja yang mereka
kirim pada kami. Berbondong-bondong
mereka berusaha menarik simpatik kami.
Senyumku getir,
Tuhan. Mengapa Kau cipta manusia-manusia seperti itu? Mengapa begitu langka
manusia yang mau berkawan
dengan si miskin? Mengapa banyak manusia yang berteman hanya karena harta, jaya, kedudukan,
atau karena kepintaran. Begitu jarang orang yang mau berkawan dengan insan
nista, insan bodoh, insan onar, insan papa, berkawan dengan tulus tanpa melihat
status? Begitu sulitkah memiliki sahabat?
Sahabat adalah
sesuatu yang nyata. Ia bukan impian. Ia bukan buatan dan khayalan dalam mimpi.
Ia hadir sebagai penyemangat jiwa. Tuhan, Engkaulah sahabatku. Yang kekal
sepanjang masa. Engkau yang selalu hadir saat banyak manusia menertawakan.
Engkau yang selalu ada, saat manusia menghinakan. Engkau jua yang selalu seka
airmata kami dalam barisan ayat-ayat suci dan janjiMu. Tak guna semua ini jika
Engkau berpaling membenci kami. Jangan pernah tinggalkan kami sendiri. Karena
hanya Engkau yang mampu membahagiakan dan membuat damai jiwa. **
cerita yang menarik. salam kenal
ReplyDeleteMakasih mbak Lisa Tjut Ali. Salam kenal juga...
ReplyDeletebagus mb,
ReplyDeletememang banyak orang2 seperti itu. semoga kita terhindar dari orang-orang seperti itu ya
Makasih mbak Lita Alifah. Amin ...
ReplyDeletecakeep..lanjutkan
ReplyDeleteMenyentuh ceritanya, Mbak. Sukaaa gaya bahasanya, ringan dan menarik. Sukses buat karier menulisnya :)
ReplyDeleteWow kerennn mba!!!
ReplyDeletemaaf ikutan ngomen ya!
Mbak Trance, bagus cerpennya ... dunia ini memang semu. jadi banyak orang2 yang semu, semoga kita dijauhkan dr orang2 yg demikian.. aamiin
ReplyDelete